Mungkin Anda yang berasal dari Jawa Timur tak asing lagi dengan nasi
pecel karena telah menjadi salah satu “trade mark” kuliner Jawa Timur.
Makanan yang racikan bumbunya berasal dari kacang tanah lalu diulek
bersama-sama dengan aneka bumbu seperti cabe, sedikit bawang putih,
sedikit gula pasir, gula jawa atau gula kelapa, garam, dan tak
ketinggalan umbi kencur dan daun jeruk purut yang membuat aroma bumbu
pecel menjadi sangat khas ini, tersebar dan dikenal seantero Jawa Timur.
Saya menamakan Pecel Rengkek, karena saya terbiasa menyebutnya
begitu dan memang penjualnya, yang kesemuanya kaum ibu paruh baya itu
membawa semacam box yang terbuat dari kayu dan tripleks, yang
orang-orang terkadang juga menyebut box ini dengan ronjot, ditaruh di
atas sepeda atau sepeda motor. Saya lebih enjoy menyebut box-nya dengan
“rengkek”, meskipun ini kurang tepat, karena “rengkek” biasanya terbuat
dari bambu.
Pecel Rengkek di Jombang tidak dijajakan sembarang waktu. Pecel ini
umumnya mudah dijumpai dikala pagi hari selepas subuh hingga matahari
naik dua-tiga penggalah. Biasanya penjualnya menjajakan keliling di
jalan-jalan protokol yang kalau pagi masih relatif sepi,
kompleks-kompleks perumahan, dan jalan-jalan kecil lainnya. Namun, yang
paling banyak adalah mangkal di tempat-tempat keramaian dan strategis
lainnya seperti alun-alun, stasiun, perempatan jalan dekat RSUD
Jombang, depan GOR Jombang, sepanjang trotoar Kebonrojo dan sebagainya.
Sedangkan para pembeli pecel ini dari berbagai kalangan, mulai dari
tukang becak, pekerja kantoran yang berangkat mruput, para
“olahragawan” yang setiap pagi selesai menggerakkan badan, atau
bapak-bapak yang mungkin istrinya tak sempat masak pagi atau memang
malas memasak. Saking banyaknya penggemar pecel ini, seringkali pembeli
harus rela antri menunggu giliran untuk “dilayani”, meskipun antriannya
tak separah antrian mengambil BLT atau antrian pembeli BBM yang
akhir-akhir ini marak di negeri yang katanya cassing-nya berbentuk
republik tetapi sejatinya jerohan-nya kerajaan ini.
Yang menarik, penyajian Pecel Rengkek tidak dengan menggunakan
piring, tetapi disajikan dengan pincuk daun pisang yang dilapisi dengan
kertas koran atau kertas minyak. Jadi kesan tradisionalnya masih ada,
dan justru inilah yang menambah daya tariknya juga “daya dobrak”
rasanya sehingga semakin memporak-porandakan indera pengecap
penikmatnya.
Harganya tak terlalu mahal, cukup dengan harga rata-rata 2000,- kita
sudah mendapatkan satu porsi Pecel Rengkek yang nyamleng plus segelas
air mineral. Satu porsi Pecel Rengkek ini terdiri atas nasi, aneka
sayur (kangkung, bayam, selada, irisan mentimun, daun pepaya, tauge dan
lain-lain sayur yang jenisnya sepertinya tergantung musim), rempeyek
kacang terkadang rempeyek ebi (udang kering), serundeng, telur ceplok,
tempe goreng dan tentu saja siraman sambal pecel. Kalau kita mau, kita
juga dapat menambah dengan sayur lodeh ataupun sambal tumpang. Makanan
dengan kombinasi yang mendekati anjuran para ahli gizi, empat sehat,
dimana sumber karbohidrat, protein, lemak dan vitamin plus tingkat
serat yang tinggi, tersedia dalam sepincuk Pecel Rengkek.
Khusus mengenai sambal tumpang, bahan dasar pembuatannya dari tempe
yang telah “membusuk” kemudian dihancur-leburkan. Entah mengapa
dinamakan sambal tumpang, saya kurang tahu persis. Mungkin karena
sambal ini diletakkan di atas atau menumpang di atas sambal pecel
lantas disebut dengan “sambal tumpang”. Bisa jadi, dan saya berharap
Mbak Elsa nun jauh di Jalan Merdeka Jombang sana, bisa menjelaskan
kepada saya lebih detail lagi tentang sambal tumpang ini.
Masih penasaran dengan Pecel Rengkek ini? Sekali-kali cobalah datang
ke Jombang ketika hari masih pagi, dimana suasana masih repet-repet dan
udara dingin menyelimuti kota ini. Anda akan menemukan sensasi lain dan
ke-nyamleng-an dari Pecel Rengkek ini. Selamat mencoba!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar